Ideku untuk membawanya jalan-jalan terlaksana hari ini. Aku ingin ke kota untuk makan bakso atau sate ayam, alih-alih Arman biar lihat perspektif lain. Kemarin aku sudah memesan dua tiket untuk kami berdua, awalnya Arman menolak katanya uangnya tipis enggak cukup kalau untuk jalan-jalan.
“Man Man.. kamu nggak lagi mau jalan sama gebetanmu.” Jawabku yang sudah ditolak puluhan kali tentang rencana ke alun-alun.
Sejak tadi Arman selalu diam dan menunduk entah apa yang masih menjadi beban. Aku dan Arman sedang difase yang sama yaitu menjadi pengangguran, kalau kata anak jaman sekarang “pengacara” alias pengangguran banyak acara. Tapi tidak dengan aku dan Arman. Acaraku sama Arman hanya bertemu untuk saling mengeluh dan bercerita rencana-rencana yang entah bisa terlaksana atau tidak. Boro-boro kita ke café, sesekali jajan nasi kucing di dekat SD itu pun dua minggu sekali dan pilih lauknya pakai usus goreng dan tempe orek. Ada untungnya aku punya temen kayak Arman yang nggak malu diajak makan dipinggir jalan.
“Ekonomi-1..” gumamku sampai di dekat pintu gerbong 1. Arman naik ke pintu gerbong yang tidak ada anak tangga didepannya, lalu mengumpan tangannya untuk menarikku naik. Sampai di kursi kami Arman masih terdiam juga, matanya lurus menatap jendela hingga kereta mulai berjalan. Ini tumben sekali, biasanya kalau ke tempat baru atau pengalaman baru seperti ini pasti ada pendapat yang Arman jelaskan padaku. Aku pun mengeluarkan headset dari tasku, headset sebalah kiri kupakai dan yang sebelah kanan aku bagi dengan Arman. Aku memilih lagu Hindia yang bertajuk Secukupnya. Biasanya Arman selalu memintaku untuk skip lagu ini karena katanya dia malu sama lagunya. Tidak mengerti dan menurutku kurang masuk akal. Kutatap Arman lekat-lekat, pandangannya lurus melihat sawah yang seolah ikut berjalan berbarengan dengan kereta. Aku menemukan air matanya sudah tidak terbendung tapi terlihat sekali ia berusaha menahannya. Tanpa ragu aku raih tangan kirinya dan aku genggam erat. Mumpung gerbong lagi sepi siapa tahu Arman ingin nangis cuman malu, aku mengalah memilih untuk menyandarkan punggungku lebih rileks dan memejamkan mata.
Sampai di stasiun di Solo Kota aku dan Arman bersiap turun dari gerbong. Tidak ada percakapan apapun saat perjalanan, keheningan kita dihiasi dengan playlistku. Kita memang selalu seperti ini meski kita sudah dekat untuk bisa saling bercerita satu sama lain masih butuh kesiapan.
“Mau makan apa Ka?”
“Sate atau bakso, seperti rencana awal” jawabku. Arman mengangguk, sudah dua kali kami berjalan melewati tukang bakso tapi Arman tidak ingin belok. Aku pasrahkan saja sama Arman.
Matanya mulai bergerak sejak turun di stasiun seperti mengamati banyak hal yang harus diserap. Arman memang punya mata yang jeli dalam melihat sekitar yang membuatnya malah seperti terkurung dan menutup dirinya rapat-rapat. Yang aku lihat Arman selalu memposisikan diri saat melihat suatu hal yang malah membuatnya overthinking. Ya itu tadi, menjadi tertutup yang tidak aku ketahui penyebabnya. Karena aku pun tipikal orang yang tidak mau diganggu privasinya jadi aku juga sangat menjaga agar Arman tidak terusik privasinya. Kaki Arman berhenti di penjual bakso yang pas banget jarak satu tenda ada penjual sate ayam.
“Disini aja ya?” tawarnya.
“Bakso sama sate setengah porsi sama es teh aja Man” jawabku yang langsung mencari bangku di tenda penjual bakso. Arman yang sudah memesankan dua porsi bakso dan dua gelas es teh langsung beranjak ke tenda penjual sate. Saat kita makan pun Arman masih diam, sibuk lahap makan bakso dan sate dengan pikiran masing-masing.
“Harusnya aku bisa berusaha seperti mereka ya Ka?” nadanya ragu seperti pertanyaan dan juga pernyataan. Aku masih sibuk dengan bagian sateku yang enam tusuk dan yang empat tusuknya Arman. Lucu sekali Arman membaginya, seperti seorang kakak yang mengalah memberikan satu tusuk untuk adiknya.
“Kenapa begitu?”
“Aku kurang keras usahanya” kepalanya mendongak lalu menatapku, dan aku ragu ingin menjawab.
“Memang setiap orang usahanya harus sama ya Man? Kan jalan hidupnya beda?” Arman hanya tersenyum masam. Itu saja responku dan yang bisa aku tanyakan balik, karena jika aku jawab dan menjelaskan panjang lebar Arman sudah tau jawabannya. Arman hanya butuh pembenaran atau penyalahan diwaktu yang sama.
**
“Ka, aku mau otw pulang nanti aku mau mampir. Kamu mau martabak atau sate?” tanyanya diseberang sana. Aku sedang malas Man bertemu denganmu, batinku.
“Aku belum pulang, aku lembur” aku tidak bohong karena minggu ini restoran sedang ramai aku harus cek stok bumbu.
“Aku jemput ya nanti?” ucapnya seperti memohon.
“Aku sudah telpon bapak tadi minta dijemput”
“Oke”.
Aku sempat dua kali lihat story instagram Arman repost foto dia dengan seorang wanita. Sebelumnya dia memang pernah bilang sedang ada perempuan yang mendekatinya. Aku memasang wajah antusias saat itu tetapi Arman ekspresinya seperti biarlah mengalir seperti air.
Sejak saat itu aku selalu menolak saat Arman mengajak untuk bertemu aku selalu beralasan lembur atau sudah janjian dengan temanku yang lain. Aku selalu menertawakan diriku saat berhasil membuat alasan tidak bisa bertemu, hatiku pengecut. Seorang Kalista yang menganggap pintu hatinya kokoh dan belum tentu ada yang bisa masuk kecuali ia mau membukanya, nyatanya pintunya terbuka sendiri tanpa aba-aba dan Arman berhasil ada disana. Jelas, Kalista memang pengecut. Iya itu aku Man.
Sekitar jam 2 pagi gawaiku bergetar entah kenapa aku sedikit peka malam itu karena biasanya kalau habis lembur pasang alarm dua kali pun tidak terdengar. Kulihat nama Arman tertera dilayar, ada apa lagi Man.
“Halo. Kenapa?” jawabku, dan aku mendengar deru nafasnya disana. Sekitar 1 menit ia tidak bersuara disana dan kudiamkan juga. Biasanya Arman menelepon di waktu prime time orang tidur berarti ada sesuatu yang dia pendam dan tidak bisa dia tahan sendiri.
“Aku kehilangan Kalista…” dia mulai angkat bicara, sontak mataku langsung terbelalak mendengar jawabnya. Aku mendudukkan badanku dan menata pikiranku, harus merespon apa dan apa maksud sebenarnya.
“Aku kehilangan Kalista yang dulu” ulangnya lagi, aku tidak tahu harus merespon apa. Aku tidak memiliki cukup banyak energi jam 2 pagi dan setelah bekerja 11 jam karena lembur, tiba-tiba Arman berkata seperti ini saat hatiku sudah mau merelakan. Aku sedang tidak bahagia mendapat pancingan seperti ini yang harusnya aku respon dengan tangan terbuka. Aku memutar otakku lagi dan merasakan ini semua ambigu. Kemungkinan Arman merindukanku sebagai sosok teman yang selama ini selalu menyediakan waktunya, bukan yang itu Kalista.
“Yaudah besok ketemu ya, aku lagi nggak lembur. Jemput aku jam 5, kita makan di sate ayam Pak Sholeh ya” aku bingung harus menjawab apa takut salah tangkap.
“Aku sayang sama kamu Kalista..”
“Aku sayang sama kamu lebih dari keadaan kita saat ini” jelasnya lagi, kamu ngelindur kali Man.
“Man, ini jam 2 pagi. Kamu kalau lagi nggak ngelindur ya ngantuk. Udah yuk kita tidur lagi, besok kita sama sama kerja loh”
“Aku serius” jawabnya singkat, dan aku rasa pengakuan Arman tidak harus selesai jam 2 pagi ini. Aku tidak ingin menyakiti Arman dan aku pun takut salah bicara apalagi salah ambil langkah.
“Man, aku ngantuk. Aku nggak bisa mikir dan nggak tau harus merespon apa. Besok kita selesaikan ya, jemput aku pulang kerja. Kita makan, baru kita obrolin.”
“Maaf ya Ka. Oke besok aku jemput, selamat tidur lagi Ka..” jawabnya.
–